Ini lebih seperti pengalaman dan gerundelan, bukan review.
Buku Dee Lestari yang terbit kali ini seperti mesin waktu. Baik cerita di buku itu sendiri maupun bagi si pembaca, yaitu saya, :).
Kita dibawa ke masa Raras remaja, yang kemudian mundur ke Nenek Raras, loncat lagi ke Raras dewasa.
Dari sisi subyek, kita juga disuguhi cerita dari berbagai sudut pandang, Raras, Suma, Jati, ... . Sedikit banyak mengingatkan saya pada Inteligensi Embun Pagi.
Yang menarik di sini adalah saat meloncat ke masa lampau, semua latar waktu subyek juga berada di masa itu. Saya suka.
Buku Dee Lestari yang terbit kali ini seperti mesin waktu. Baik cerita di buku itu sendiri maupun bagi si pembaca, yaitu saya, :).
Kita dibawa ke masa Raras remaja, yang kemudian mundur ke Nenek Raras, loncat lagi ke Raras dewasa.
Dari sisi subyek, kita juga disuguhi cerita dari berbagai sudut pandang, Raras, Suma, Jati, ... . Sedikit banyak mengingatkan saya pada Inteligensi Embun Pagi.
Yang menarik di sini adalah saat meloncat ke masa lampau, semua latar waktu subyek juga berada di masa itu. Saya suka.
Kita tahu, sejak IEP, Dee benar-benar sangat "akademis". Semua tulisan dapat dipertanggungjawabkan. Semua hal memiliki "penjelasan" atau berfungsi "menjelaskan". Setiap kejadian memiliki sebab di masa lalu dan atau menjadi penyebab kejadian di masa depan di cerita buku ini. Dan garis waktu mereka di buku ini terasa sempurna, tak ada hal-hal mengganjal seperti "cepat sekali", "kok gitu, harusnya sekarang sudah tua", atau "loh, ini kan pas saat itu belum gini, kok sudah begitu...". Mungkin ini adalah buah dari "time-line wall", sebuah tembok di rumah Dee yang, saat penulisan IEP dulu, digunakan untuk menempel potongan-potongan cerita/adegan/kejadian untuk melihat/menempatkan/memberi waktu kejadian di tiap-tiap adegan.
Dari segi isi, saya awalnya agak ngeri saat Dee memposting proses riset yang dilakukan. Dari jalan-jalan ke TPA Bantar Gebang, pabrik parfum, Gunung Lawu. Saya bersiap-siap membaca (sebagai orang Fisika) bergunung-gunung istilah biologi dan kimia yang keluar konteks dan semata-mata ada karena sayang dibuang dan pamer pengetahuan.
(Maafkan kelancangan prasangka saya. Itu terjadi karena saya punya pengalaman buruk saat membaca buku populer karya penulis populer yang dari Indonesia juga. Banyak istilah keren, asing dan tak seharusnya dipaksakan masuk buku namun tetap ditulis. Saya mungkin tahu atau tidak tahu istilah itu, tetapi peletakkan istilah yang dipaksakan jadi sangat mengganggu dan muncullah pikiran "huh..., dasar sok pamer")
Nah, itu tidak terjadi di Aroma Karsa ini. Sepanjang perjalanan membaca, saya santai saja dihantam berbagai istilah biologi dan kimia (eh, atau cuma istilah kimia ya, ndak tahu saya). Yeah, karena saya tahu dalam konteks kalimat tertentu, istilah itu merujuk ke bau (misal) bunga, atau komponen bau bangkai, ...., bahkan saya tak perlu tahu itu apa atau bahkan tidak berusaha mengeja karena, secara psikologis, itu adalah keahlian Jati dan Suma, bukan saya, hehehe.
Dari sisi teknik bercerita, Dee menjadi semakin mengerikan...
Buku ini berhasil membuat saya berhenti berkali-kali untuk membolak-balik halaman sebelumnya untuk mengecek dan mengkonfirmasi informasi yang barusan terbaca. Dee memang jagoan dalam mencipratkan kepingan-kepingan fakta sedikit-sedikit ke semua bagian buku, tidak langsung menyiramkan sekaligus.
Raras yang berkursi roda misalnya, saya langsung buru-buru balik ke halaman pertama untuk memastikan bahwa saat itu dia "berjalan", yang dengan cerdiknya (atau kejam, :D ) tidak ditulis sama sekali oleh Dee, dia hanya mendeskripsikan Raras "tersuruk-suruk". Saya membayangkan Dee sedang terpingkal-pingkal, atau tertawa setan, saat dia tahu jebakannya berhasil.
Dee berhasil membuat saya kalang kabut mencari halaman di mana Jati minta alat jahit ke mbok Wijah ketika membaca bagian Suma masuk kamar Jati. Memastikan bahwa "Oh, iya. Tentu saja, ternyata buat itu".
(Saat menulis ini saya juga buru-buru mengacak-acak si buku yang malang untuk memastikan bahwa namanya memang mbok wijah, :) )
Juga tentang penyakit istri P Khalil. Juga tentang ayah Raras..., bahkan sudah membaca bagian hampir akhir, saya harus terburu-buru kembali ke halaman-halaman awal untuk memastikan bahwa eyang kakung yang dimaksud adalah ayah Raras dan ber-"Ohya, jadi gitu". Fiuh, buku ini cepat sekali kusut dan lecek.
Bahkan beda satu halaman juga bisa membuat kita membolak-balik buku sambil ber-"haduh.."-ria seperti pada bagian Kapten Jindra saat Raras menyebut Dirga, anaknya. Dee berhasil membuat prasangka saya jungkir balik saat Raras bilang pasti Dirga mirip Kapten Jindra dan sang Kapten dengan entengnya bilang "nggak mirip saya, dia lebih mirip bapaknya". Lah, trus Kapten Jindra ini laki-laki atau perempuan? Dee dengan liciknya menyimpan informasi ini dan baru membukanya di beberapa halaman berikutnya. Bayangkan, hal sederhana semacam "dia ini cewek apa cowok?" di buku ini sudah menjadi sajian yang menarik. (Juga jenis kelamin sang mPu, :) )
Dengan cara menulis Dee yang seperti itu, saya malah sempat di suatu titik menebak bahwa nama bawaan Jati justru Malini, :) . (Yeah, sampai segitunya Dee menjungkir balik otak saya, tanpa mempedulikan bahwa Malini adalah nama yang biasanya untuk perempuan, :) )
Tentang teknik "percikan sedikit-sedikit, jangan siram langsung" juga berlaku untuk bagian-bagian humor di buku ini. Seperti pola ajaib turun-temurun dari nama juru kunci Lawu. Diceritakan sekaligus sebenarnya sudah lucu, namun ketika dipercikkan sedikit-sedikit, ketika humor itu benar-benar terjadi, rasanya mengena sangat telak, dan saya berhasil hampir tersedak seperti Jati.
Dee selalu menciptakan akhir gembira bagi cerita-cerita di bukunya, termasuk Aroma Karsa ini. Akhir gembira dan sedikit menggantung, yeah, khas Dee.
Dari segi isi, saya awalnya agak ngeri saat Dee memposting proses riset yang dilakukan. Dari jalan-jalan ke TPA Bantar Gebang, pabrik parfum, Gunung Lawu. Saya bersiap-siap membaca (sebagai orang Fisika) bergunung-gunung istilah biologi dan kimia yang keluar konteks dan semata-mata ada karena sayang dibuang dan pamer pengetahuan.
(Maafkan kelancangan prasangka saya. Itu terjadi karena saya punya pengalaman buruk saat membaca buku populer karya penulis populer yang dari Indonesia juga. Banyak istilah keren, asing dan tak seharusnya dipaksakan masuk buku namun tetap ditulis. Saya mungkin tahu atau tidak tahu istilah itu, tetapi peletakkan istilah yang dipaksakan jadi sangat mengganggu dan muncullah pikiran "huh..., dasar sok pamer")
Nah, itu tidak terjadi di Aroma Karsa ini. Sepanjang perjalanan membaca, saya santai saja dihantam berbagai istilah biologi dan kimia (eh, atau cuma istilah kimia ya, ndak tahu saya). Yeah, karena saya tahu dalam konteks kalimat tertentu, istilah itu merujuk ke bau (misal) bunga, atau komponen bau bangkai, ...., bahkan saya tak perlu tahu itu apa atau bahkan tidak berusaha mengeja karena, secara psikologis, itu adalah keahlian Jati dan Suma, bukan saya, hehehe.
Dari sisi teknik bercerita, Dee menjadi semakin mengerikan...
Buku ini berhasil membuat saya berhenti berkali-kali untuk membolak-balik halaman sebelumnya untuk mengecek dan mengkonfirmasi informasi yang barusan terbaca. Dee memang jagoan dalam mencipratkan kepingan-kepingan fakta sedikit-sedikit ke semua bagian buku, tidak langsung menyiramkan sekaligus.
Raras yang berkursi roda misalnya, saya langsung buru-buru balik ke halaman pertama untuk memastikan bahwa saat itu dia "berjalan", yang dengan cerdiknya (atau kejam, :D ) tidak ditulis sama sekali oleh Dee, dia hanya mendeskripsikan Raras "tersuruk-suruk". Saya membayangkan Dee sedang terpingkal-pingkal, atau tertawa setan, saat dia tahu jebakannya berhasil.
Dee berhasil membuat saya kalang kabut mencari halaman di mana Jati minta alat jahit ke mbok Wijah ketika membaca bagian Suma masuk kamar Jati. Memastikan bahwa "Oh, iya. Tentu saja, ternyata buat itu".
(Saat menulis ini saya juga buru-buru mengacak-acak si buku yang malang untuk memastikan bahwa namanya memang mbok wijah, :) )
Juga tentang penyakit istri P Khalil. Juga tentang ayah Raras..., bahkan sudah membaca bagian hampir akhir, saya harus terburu-buru kembali ke halaman-halaman awal untuk memastikan bahwa eyang kakung yang dimaksud adalah ayah Raras dan ber-"Ohya, jadi gitu". Fiuh, buku ini cepat sekali kusut dan lecek.
Bahkan beda satu halaman juga bisa membuat kita membolak-balik buku sambil ber-"haduh.."-ria seperti pada bagian Kapten Jindra saat Raras menyebut Dirga, anaknya. Dee berhasil membuat prasangka saya jungkir balik saat Raras bilang pasti Dirga mirip Kapten Jindra dan sang Kapten dengan entengnya bilang "nggak mirip saya, dia lebih mirip bapaknya". Lah, trus Kapten Jindra ini laki-laki atau perempuan? Dee dengan liciknya menyimpan informasi ini dan baru membukanya di beberapa halaman berikutnya. Bayangkan, hal sederhana semacam "dia ini cewek apa cowok?" di buku ini sudah menjadi sajian yang menarik. (Juga jenis kelamin sang mPu, :) )
Dengan cara menulis Dee yang seperti itu, saya malah sempat di suatu titik menebak bahwa nama bawaan Jati justru Malini, :) . (Yeah, sampai segitunya Dee menjungkir balik otak saya, tanpa mempedulikan bahwa Malini adalah nama yang biasanya untuk perempuan, :) )
Tentang teknik "percikan sedikit-sedikit, jangan siram langsung" juga berlaku untuk bagian-bagian humor di buku ini. Seperti pola ajaib turun-temurun dari nama juru kunci Lawu. Diceritakan sekaligus sebenarnya sudah lucu, namun ketika dipercikkan sedikit-sedikit, ketika humor itu benar-benar terjadi, rasanya mengena sangat telak, dan saya berhasil hampir tersedak seperti Jati.
Dee selalu menciptakan akhir gembira bagi cerita-cerita di bukunya, termasuk Aroma Karsa ini. Akhir gembira dan sedikit menggantung, yeah, khas Dee.